![]() |
view Play Ground untuk keluarga penghuni |
Tren pembangunan apartemen, trade
mall, dan gedung perkan-toran secara vertikal merupa-kan jawaban dari makin
tingginya kebu-tuhan akan hunian dan ruang usaha di tengah kota. Peluang ini
tidak disia-siakan oleh pengembang, yang dalam 10 tahun terakhir ini
ramai-ramai menjual/ membangun gedung-gedung bertingkat dengan konsep strata
title (adanya pemi-likan bersama). Gedung-gedung tersebut “tunduk” pada aturan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
Seiring dengan selesainya dan
diserahterimakan unit-unit gedung tersebut, serta kepengelolaannya kepada
pemilik /penghuni rumah susun, maka mulailah timbul konflik-konflik dan
persengketa-an, baik antara pemilik/penghuni dengan pengembang,
pemilik/penghuni dengan pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun
(PPPSRS)/ Badan Pengelola (BP), maupun sesama pemilik/penghuni.
Secara umum, tren kecenderungan
konflik dalam pengelolaan rumah susun dari waktu ke waktu akan terus
mening-kat. Ada banyak sebab mengapa hal ini terjadi, antara lain: banyaknya
perbedaan kepentingan, kurang pahamnya pemilik/ penghuni terhadap aturan
tinggal di rumah susun, dan kurang tegasnya regulasi di bidang rumah susun.
Semua itu kemudian diperparah dengan komuni-kasi yang buruk di antara
stakeholder rumah susun.
Pernyataan ini diungkapkan oleh
pengamat rumah susun Amazon Sinaga, dalam acara Sharing Session yang diada-kan
oleh Persatuan Perhimpunan Peng-huni Rumah Susun Indonesia (P3RSI), di Jakarta,
beberapa waktu lalu. Selain Amazon tampil sebagai pembicara, turut hadir,
praktisi hukum properti Erwin Kallo, pakar komunikasi publik Effendi Gazali,
Ketua PPPSRS Amran, praktisi manajemen properti Bambang Setiobudi, serta
pengamat rumah susun Sujoko.
Menurut Amazon, berbagai
masa-lah pengelolaan rusun sebenarnya dapat diselesaikan dengan mudah jika
semua pihak mau berkomunikasi dengan tulus, dengan niat baik dan transparan.
Tapi, realitas selama ini di lapangan hal itu tidak dapat terwujud karena
adanya saling curiga, terutama antara developer, badan pengelola dan
pemilik/penghuni.
"Selalu ada solusi untuk
memper-baikinya. Tapi, jangan ngotot-ngototan. Semuanya bisa diperbaiki, asal
semua pihak mau berkomunikasi secara terbuka dan transparan. Jangan pernah
pemilik menganggap pengembang adalah mu-suhnya," kata Amazon.
Di lain pihak, kata Amazon,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun pun belum meng-atur
segala hal mengenai rusun. Karena itu, ketidakpastian bisa memicu konflik di
lapangan. Selain itu, peraturan pelak-sana, mulai dari Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri, dan peraturan lainnya pun belum terbit. Tidak heran bila
konflik antara penghuni rusun dan pengembang bisa terjadi.
Dikotomi penghuni – pengembang
Senada dengan Amazon, praktisi hukum
properti Erwin Kallo menyata-kan, bahwa masyarakat memang sering-kali terjebak
pada kecenderungan dikoto-mi kelas antara pemilik, penghuni, dan pengembang
rumah susun. Semua unsur ini fokus pada konflik, dan tidak berfokus pada akar
masalahnya, yaitu aturan.
"Jangan terjebak dikotomi
kelas. Saya lebih setuju main aturan. Hukum tertinggi Anggaran Dasar/Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART). Turunannya adalah tata tertib. Kalau tidak cocok, bisa
diubah sesuai mekanisme," ujar Erwin.
Untuk itu, lanjut Erwin, pembentuk-kan
AD/ART pun perlu dikawal. Aturan paling tinggi dalam perhimpunan tersebut punya
mekanisme sendiri untuk menga-komodasi berbagai aspirasi pemilik dan penghuni
rusun.
Sayangnya, kata Erwin, masyarakat
sudah terlanjur larut dalam dikotomi pengembang dan non-pengembang dalam
menghadapi masalah seputar pengelolaan dan penghunian rusun. Masing-masing
pihak mendahulukan kepentingannya, tanpa mau berembuk bersama dan mengembalikan
pada aturan hukum yang berlaku.
Sementara itu, pakar komunikasi
Effendi Gazali juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, masing-masing pihak
harus bisa berempati kepada pihak lain. Misalnya, pengembang harus bisa
menempatkan diri sebagai penghuni, begitu juga sebaliknya. Selain itu, sejak
masa promosi sekalipun, berbagai hal teknis seperti perbandingan proporsional
hak pengelolaan harus disampaikan pada calon pemilik rusun. (Erlan Kallo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis yaa, komentar kamu...